Cari Blog Ini

Senin, 14 Desember 2015

KOTA YANG TELAH MENERAPKAN LUAS KOTANYA 30% UNTUK RTH


RTH adalah bagian dari ruang terbuka dalam kota yang pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah atau budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan sebagainya.

RTH merupakan ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana penggunaannya lebih bersifat terbuka dan pada dasarnya tanpa bangunan.

RTH adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan, habitat tertentu, dan/atau daratan kota/lingkungan, dan/atau pengaman jaringan prasarana, dan/atau budidaya pertanian.

Pakar iklim mengatakan, optimalisasi ruang terbuka hijau perkotaan yang cukup berarti akan menyumbang cukup besar bagi upaya menekan dampak perubahan iklim dunia.

Jenis Ruang Terbuka Hijau

Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007, jenis Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan terdiri dari :

Taman rekreasi,
Taman lingkungan perumahan dan permukiman,
Taman hutan raya,
Bentang alam (seperti gunung, bukit, lereng dan lembah),
Cagar alam,
Kebun raya,
Lapangan olahraga,
Lapangan upacara,
Parkir terbuka,
Lahan pertanian perkotaan,
Jalur di bawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET),
Jalur pengaman (jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian),
Kawasan dan jalur hijau,
Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara, dan
Taman atap (garden roof).

Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto me­nye­­but­kan, ada ketentuan harus dipe­nuhi suatu wilayah untuk mewu­jud­kan kota hijau. Salah satunya adalah dengan me­nye­diakan 30 per­­sen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari keseluruhan luas wi­la­yah. “Selain itu harus ada sa­ni­tasi, publik transportation yang baik, dan komunitas hijau,” ujarnya.

Dari total 112 kota yang telah sepakat untuk membangun kota hijau, sebanyak 60 kota sudah mencanangkannya sejak tahun 2011 lalu. Sedangkan 52 kota baru men­­canangkannya pada tahun ini. “Tahun 2013 kita sudah bisa mulai, dengan membangun ta­man seluas 5.000 meter persegi di setiap kota,” terangnya.

Inisiatif ini juga merupakan implementasi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) Kota/Ka­bupaten serta peningkatan peran aktif dan kemitraan antar para pemangku kepentingan pada ting­kat lokal. “Rata-rata keterse­diaan ruang terbuka hijau di In­donesia berkisar antara 10 sampai 11 persen dari luas wilayah kota,” tukasnya.

Presentase itu masih belum me­menuhi minimal RTH 30 per­sen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Ta­hun 2007 Tentang Penataan Ruang, di mana RTH 30 persen harus dicapai dalam 20 tahun pe­rencanaan.

Pencapaian presentase itu merupakan hal yang sulit untuk kota-kota besar dan metropolitan. Hal ini disebabkan sebagian besar wilayah kota sudah merupakan wi­layah terbangun dengan ke­pemilikan lahan yang beragam. “Salah satu upaya untuk men­capai RTH 30 persen adalah de­ngan menggalakkan P2KH,” ujarnya.

Ketersediaan Lahan Makin Sempit Karena Ada Peralihan Fungsi

Nirwono Yoga, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti

Ruang terbuka hijau alias RTH yang dimiliki 26 kota di In­donesia belum mencapai 20 persen. Sementara, target luas­nya sebesar 30 persen harus di­pe­nuhi 98 kota pada 2030.
“Tapi  72 kota belum mempu­nyai progres pengembangan RTH yang diwajibkan sebesar 30 persen dari total luas wila­yah­nya. Saya prihatin atas kea­da­an ini.”
Sampai saat ini hanya 26 kota saja yang mulai ikut mengem­bangkan lahan terbuka hijau. Berdasarkan data komunitas hi­jau Indonesia, Kota Blitar terca­tat telah mengembangkan RTH terbesar, yaitu sebesar 17 per­sen, diikuti Makassar dan Pare-pare dengan luas RTH 14 per­sen, Probolinggo 13,2 persen, Ma­taram 12 persen, Batam dan Tanjung Pinang 8,3 persen, Ma­lang 7,8 persen, serta Sala­tiga, Semarang, dan Surakarta 4,6 persen.

Sebanyak 15 kota lainnya di­katakan belum mempunyai pengembangan yang cukup berarti. Lima belas kota tersebut adalah: Banda Aceh, Medan, Bukit Tinggi, Pariaman, Sa­wah­lunto, Pagar Alam, Bandar Lam­pung, Metro, Bogor, Yog­ya­karta, Kendari, Gorontalo, Bau-bau, Palu, dan Ambon. “Tapi sudah ada komitmen dari mereka untuk mengembangkan RTH 30 persen pada 2030 men­datang. Saya berharap 72 kota lain dapat mengikutinya.”

Ketersediaan RTH sangatlah terbatas, terutama di kota-kota be­sar seperti Jakarta. Hal ini menjadi kendala utama. Untuk itu, sangat diperlukan peran dan kerja sama yang dari para pim­pinan politik dan berbagai ele­men pemerintahan.
Tinggal bagaimana membuat lem­baga-lembaga seperti pe­me­rin­tah daerah (Pemda) serta Ba­dan Usaha Milik Negara (BUMN) harus lebih banyak ter­libat.
Ketersediaan lahan di Jakarta yang semakin sempit dan ter­ba­tas lantaran peralihan fungsi la­han menjadi tempat kegiatan ekonomi ketimbang sebagai RTH yang notabene sangat di­bu­tuhkan warga Jakarta.

“Seharusnya Kita bisa mencontoh Singa­pura dalam membuat kotanya men­jadi hijau dan enak dipandang.

Saat ini Singapura menjadi sa­lah satu ibukota negara  tera­tas dunia dalam mengem­bang­kan ruang terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau saat ini men­capai lebih dari 50 persen dari luas wilayahnya. Negara  di lepas ujung selatan Semenan­jung Ma­laya itu memiliki lebih dari 450 ta­man dan kebun pu­blik. “Op­timalisasi ruang ter­bu­ka hi­jau per­kotaan yang cu­kup be­rarti akan menyumbang cu­kup be­sar bagi upaya mene­kan dam­pak perubahan iklim dunia.”

Sedangkan kebijakan terkait kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota besar di ta­nah air masih minim. Ke­ba­nyakan pembentukan kota-kota yang ada di Indonesia ini diren­ca­nakan tanpa memperhatikan  aspek-aspek lingkungan.
Semestinya proporsi RTH pada wilayah perkotaan adalah se­besar minimal 30 persen yang ter­diri dari 20 persen ruang ter­buka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
“Proporsi 30 persen meru­pa­kan ukuran minimal untuk men­jamin keseimbangan ekosistem kota, termasuk sistem hidrologi dan mikroklimatnya.”

Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang , dalam klausul UU itu disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30 persen dari luas kota tersebut. RTH di setiap kota memiliki tiga fungsi utama, yaitu fungsi ekologis, sosial ekonomi dan evakuasi.

Fungsi ekologis RTH di anta­ra­nya dapat meningkatkan kua­litas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan pengatur iklim mikro. Selain itu juga memiliki fungsi sosial-eko­nomi. Di antaranya untuk mem­berikan fungsi sebagai ruang in­teraksi sosial, sarana rekreasi dan keasrian kota.

Belum Satu Kotapun Yang Menerapkannya

Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI

Tim pakar dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) me­nga­­kui belum satu kotapun di In­donesia yang mampu me­ne­rapkan 30 persen ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

DNPI  berkerjasama dengan pi­hak  kementerian terkait, or­ga­nisasi pakar dan universitas ter­kemuka di tanah air, terus men­dorong upaya pemenuhan RTH di kota-kota di Indonesia.

DNPI atas perintah Presiden se­lalu mengingatkan aparat di daerah agar konsisten dan lebih proaktif dalam mewujudkan ka­wasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Wajib hukumnya, bagi pa­ra Walikota, Gubernur, mung­kin juga Bupati untuk mengu­ta­makan dan memperbanyak RTH.”

Transparansi dan besaran anggaran kebijakan lingkungan yang terkait pengembangan per­kotaan juga dinilai belum mak­simal dilakukan pe­me­rin­tah. Masyarakat kota, sek­tor usa­ha dan bisnis sering mem­be­rikan kontribusi cukup besar da­ri pemasukan dari pajak dan restribusi lainnya bagi pen­da­pa­tan (PAD) pemerintah kota. “Ta­pi berapa persen yang dipe­runtukan untuk perbaikan kua­litas lingkungan, nggak pernah dipaparkan.”  

KOTA BLITAR

Pemerintah Kabupaten Blitar melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Blitar akan mempersiapkan lahan terbuka hijau di wilayah pusat ibu kota Kabupaten Blitar di Kecamatan Kanigoro. Langkah itu dilakukan untuk memulai pembangunan ruang terbuka hijau di Kecamatan Kanigoro dengan luas lahan 2,5 hektare.

Seperti diungkapkan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Blitar, Khrisna Triatmanto. Menurutnya, pihaknya segera membangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah Kecamatan Kanigoro, dimana wilayah ini sudah ditetapkan oleh Bupati Blitar sebagai lahan terbuka hijau.

“Segera akan kami bangun RTH di Kecamatan Kanigoro, dimana Kecamatan Kanigoro telah ditetapkan sebagai salah satu daerah paru-paru Kota di Kabupaten Blitar,” kata Khrisna.

RTH itu nantinya juga berfungsi sebagai sarana rekreasi, tempat pertemuan dan media olahraga. Bahkan saat ini BLH Kabupaten Blitar telah merintis pembangunan RTH dengan menanam tanaman peneduh dan juga tanaman pagar dilokasi yang telah ditetapkan di Kecamatan Kanigoro dengan luas area mencapai 2,5 hektar.

Ada delapan persyaratan untuk mewujudkan kota hiau yang tentunya harus dipenuhi oleh Kota Blitar, yaitu :

1. Perencanaan dan perancangan kota yang ramah lingkungan ( Green Planning and Design). Untuk persyaratan pertama ini paling tidak Kota Blitar telah mempunyai Peraturan tentang tata ruang yang dituangkan dalam Perda Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Blitar yang merupakan pedoman bagi arah pengembangan Kota Blitar secara spasial.

2. Ketersediaan ruang terbuka hijau ( Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau merupakan factor penting terciptanya Kota Hijau. UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang mengamantkan besaran RTH Kota adalah 30 %,  yang terdiri dari 20 % RTH publik dan 10 % RTH private. Besaran tersebut masih sangat potensial dicapai Kota Blitar.

3. Konsumsi energi yang efisien (Green Energy). Program penghematan energy masih perlu terus digalakkan di Kota Blitar, termasuk penggunaan energy alternatif seperti biogas yang cukup potensial dikembangkan di Kota Blitar terutama dari peternakan sapi yang jumlahnya relatif besar terutama di daerah pinggiran kota.

4. Pengelolaan air yang efektif  (Green Water). Pengelolaan air juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi Pemerintah Kota Blitar diantaranya adalah  untuk optimalisasi PDAM. Selain itu potensi air permukaan seperti sungai dan mata air juga belum dimanfaatkan secara optimal. Kota Blitar mempunyai potensi yang cukup besar terkait penyediaan air dengan setidaknya ada 26 mata air di Kota ini Strategi green water juga dapat dilakukan dengan konsep kawasan pensirkulasian air (water circulating complex) yang salah satunya adalah daur ulan air hujan menjadi air baku. Dalam konsep ini tentunya diperlukan kawasan tadah hujan.

5. Pengelolaan limbah dengan prinsip 3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Untuk syarat ini Pemerintah Kota Blitar melalui Dinas Kebersihan dan Pertamanan cukup aktif dalam pengembangannya . Dari Tahun ke tahun jumlah Tempat  Pengelolaan sampah secara 3 R mengalami peningkatan.Pengadaan komposter baik individual dan komunal masih sangat potensial untuk dikembangkan.
6. Bangunan hemat energi atau bangunan hijau (Green Building), Pemenuhan persyaratan yang keenam ini dapat dilakukan dengan adanya pemberian rekomendasi pada saat pemberian Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dimana Dinas Pekerjaan Umum Daerah menjadi garda terdepan pemenuhannya.

7. Penerapan sistem transportasi yang berkelanjutan. Kondisi transportasi di kota Blitar relatif masih baik dibuktikan dengan kecilnya tingkat kemacetan. Namun dengan semakin meningkatnya jumlah kendaraan tentunya diperlukan perencanaan untuk meminimalisir emisi dari kendaraan tersebut, Car free day mungkin masih menjadi konsep yang potensial untuk diterapkan di Kota Blitar, Walaupun sekilas hanya bersifat seremonial tetapi dengan penjadwalan yang rutin tentunya bisa menjadi sarana promosi lingkungan yang efektif.

8. Peningkatan peran masyarakat sebagai komunitas hijau.  Peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di Kota Blitar masih sangat potensial untuk digali lebih jauh, karena pola pembangunan di Kota Blitar adalah sistem pembangunan patisipatif.

Mari kita segerakan pembangunan Ruang Tata Hijau pada kota-kota lain di Indonesia, agar ikut serta sebagai paru-paru dunia, yang berfungsi sebagai pengatur iklim mikro, sumber oksigen, resapan air dan penyerap polutan, dsb.


SUMBER :


»»  READMORE...