Lokasi Geografis
Suku Sakai merupakan salah satu suku
bangsa di Indonesia yang terletak di di pedalaman Riau, Sumatera.
Suku Sakai merupakan keturunan Minangkabau
yang melakukan migrasi ke tepi Sungai Gasib, di hulu Sungai Rokan,
pedalaman Riau pada abad ke-14. Suku Sakai merupakan kelompak masyarakat dari Pagaruyung yang bermigrasi ke daratan Riau
berabad-abad lalu.
Mereka selama ini sering dicirikan
sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan. Namun seiring
dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah.
Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri perminyakan,
usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi.
Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang baru dan
pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia (Jawa,
Minang, Batak, dsb). Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan sumber
penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka
jalani. Dan sebagian besar masyarakat Sakai hidup dari bertani dan berladang.
Dari tempat
tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam. Sakai
dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba
belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil
hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan
pemukiman-pemukiman suku melayu dan suku lainnya.
Budaya Sehari – hari
Suku sakai
tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit
coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm.
Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak
diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa
Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan
masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup
(Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun
yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut
antara lain:
- Upacara
kematian
- Upacara
kelahiran
- Upacara
pernikahan
- Upacara
penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain
upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (Life cycle) ada juga upacara
yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
- Upacara
menanam padi
- Upacara
menyiang
- Upacara
sorang sirih
- Upacara
tolak bala.
Walaupun
sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan
upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat
berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan
musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib
yang dinamakan antu (hantu).
Salah satu
ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian negatif dari
orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat
animistik. Meskipun banyak di antara orang Sakai yang telah memeluk Islam, namun mereka tetap
memraktekkan agama nenek moyang mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme,
kekuatan magis, dan tentang mahkuk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat Sakai adalah kepercayaan
terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap
bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka bergerombol dan
memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman antu ini menurut orang Sakai berada
di tengah-tengah rimba belantara yang belum pernah dijamah manusia.
Pelajaran yang akan di ajarkan
Pada
kesempatan ini, saya akan mengajar pelajaran Matematika. Kenapa saya memilih
Matematika? Karena Matematika sangat penting di dalam kehidupan. Masih banyak
anak – anak suku yang tidak bisa menghitung, di karenakan keterbatasan.
Daripada waktu anak – anak ini habis untuk bermain saja, lebih baik di gunakan
untuk belajar. Lagi pula suku ini hidup secara nomaden atau berpindah - pindah, jadi mereka mudah untuk menyerap informasi baru.
Penjabaran rencana kerja
Saya
mengambil Matematika dasar untuk anak – anak. Di mulai dari mengenal angka,
hingga berhitung. Materi Penambahan, pengurangan, pengalian serta pembagian di
lakukan juga dengan menggunakan lidi di tahap awalnya, supaya mereka lebih
mengerti dan paham.
Belajar
di luar ruangan, dengan suasana alam akan terasa lebih relax dan nyaman.
Interaksi antar guru dan murid pun lebih berjalan, dengan di adakan tanya jawab
akan memacu semangat anak – anak untuk lebih maju. Mengajar dengan step by
step, santai tapi pasti.
Anak
– anak tersebut menulis dengan pensil, mereka pun masih awam dengan itu. Maka
saya harus mengajarkan menulis angka juga di mulai dari angka 1,2,3,dst. Angka
di analogikan dengan suatu barang, misal: lidi. Itu akan mempermudah pemahaman
materi tersebut.
Pencapaian
Dengan
di adakan pembelajaran tersebut anak – anak suku dalam pun bisa matematika,
serta tidak tertinggal dengan zaman terutama tidak bodoh. Mudah – mudahan anak
suku itu bisa berprestasi jika berada di luar lingkungan sukunya. Diharapkan, keterbelakangan Suku Sakai bisa
diatasi, dengan mengikutsertakan mereka pada program-program pembangunan.
Bangga
bisa berbagi ilmu dengan anak – anak suku, semoga ilmu yang telah saya ajarkan
tidak sia – sia, dan sangat berguna di kehidupan. Banyak
pelajaran yang dapat saya ambil dari mengajar anak suku dalam.