RTH adalah bagian dari ruang terbuka dalam kota yang
pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara
alamiah atau budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan,
dan sebagainya.
RTH merupakan ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas,
baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang/jalur di mana
penggunaannya lebih bersifat terbuka dan pada dasarnya tanpa bangunan.
RTH adalah kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh
tumbuhan yang dibina untuk fungsi perlindungan, habitat tertentu, dan/atau
daratan kota/lingkungan, dan/atau pengaman jaringan prasarana, dan/atau
budidaya pertanian.
Pakar iklim mengatakan, optimalisasi ruang terbuka hijau perkotaan
yang cukup berarti akan menyumbang cukup besar bagi upaya menekan dampak
perubahan iklim dunia.
Jenis Ruang Terbuka Hijau
Menurut Permendagri Nomor 1 Tahun 2007, jenis Ruang Terbuka Hijau
Kawasan Perkotaan terdiri dari :
Taman rekreasi,
Taman lingkungan perumahan dan permukiman,
Taman hutan raya,
Bentang alam (seperti gunung, bukit, lereng dan lembah),
Cagar alam,
Kebun raya,
Lapangan olahraga,
Lapangan upacara,
Parkir terbuka,
Lahan pertanian perkotaan,
Jalur di bawah tegangan tinggi (SUTT dan SUTET),
Jalur pengaman (jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan
pedestrian),
Kawasan dan jalur hijau,
Daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara, dan
Taman atap (garden roof).
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto menyebutkan, ada
ketentuan harus dipenuhi suatu wilayah untuk mewujudkan kota hijau. Salah
satunya adalah dengan menyediakan 30 persen Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari
keseluruhan luas wilayah. “Selain itu harus ada sanitasi, publik
transportation yang baik, dan komunitas hijau,” ujarnya.
Dari total 112 kota yang telah sepakat untuk membangun kota hijau,
sebanyak 60 kota sudah mencanangkannya sejak tahun 2011 lalu. Sedangkan 52 kota
baru mencanangkannya pada tahun ini. “Tahun 2013 kita sudah bisa mulai,
dengan membangun taman seluas 5.000 meter persegi di setiap kota,” terangnya.
Inisiatif ini juga merupakan implementasi rencana tata ruang dan
wilayah (RTRW) Kota/Kabupaten serta peningkatan peran aktif dan kemitraan
antar para pemangku kepentingan pada tingkat lokal. “Rata-rata ketersediaan
ruang terbuka hijau di Indonesia berkisar antara 10 sampai 11 persen dari luas
wilayah kota,” tukasnya.
Presentase itu masih belum memenuhi
minimal RTH 30 persen sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 26 Tahun
2007 Tentang Penataan Ruang, di mana RTH 30 persen harus dicapai dalam 20 tahun
perencanaan.
Pencapaian presentase itu merupakan hal
yang sulit untuk kota-kota besar dan metropolitan. Hal ini disebabkan sebagian
besar wilayah kota sudah merupakan wilayah terbangun dengan kepemilikan lahan
yang beragam. “Salah satu upaya untuk mencapai RTH 30 persen adalah dengan
menggalakkan P2KH,” ujarnya.
Ketersediaan Lahan Makin Sempit Karena Ada Peralihan Fungsi
Nirwono Yoga, Pengamat Tata Kota
Universitas Trisakti
Ruang terbuka hijau alias RTH yang dimiliki 26 kota di Indonesia
belum mencapai 20 persen. Sementara, target luasnya sebesar 30 persen harus dipenuhi
98 kota pada 2030.
“Tapi 72 kota belum mempunyai
progres pengembangan RTH yang diwajibkan sebesar 30 persen dari total luas wilayahnya.
Saya prihatin atas keadaan ini.”
Sampai saat ini hanya 26 kota saja yang
mulai ikut mengembangkan lahan terbuka hijau. Berdasarkan data komunitas hijau
Indonesia, Kota Blitar tercatat telah mengembangkan RTH terbesar, yaitu
sebesar 17 persen, diikuti Makassar dan Pare-pare dengan luas RTH 14 persen,
Probolinggo 13,2 persen, Mataram 12 persen, Batam dan Tanjung Pinang 8,3
persen, Malang 7,8 persen, serta Salatiga, Semarang, dan Surakarta 4,6
persen.
Sebanyak 15 kota lainnya dikatakan belum
mempunyai pengembangan yang cukup berarti. Lima belas kota tersebut adalah:
Banda Aceh, Medan, Bukit Tinggi, Pariaman, Sawahlunto, Pagar Alam, Bandar Lampung,
Metro, Bogor, Yogyakarta, Kendari, Gorontalo, Bau-bau, Palu, dan Ambon. “Tapi
sudah ada komitmen dari mereka untuk mengembangkan RTH 30 persen pada 2030 mendatang.
Saya berharap 72 kota lain dapat mengikutinya.”
Ketersediaan RTH sangatlah terbatas, terutama
di kota-kota besar seperti Jakarta. Hal ini menjadi kendala utama. Untuk itu,
sangat diperlukan peran dan kerja sama yang dari para pimpinan politik dan
berbagai elemen pemerintahan.
Tinggal bagaimana membuat lembaga-lembaga
seperti pemerintah daerah (Pemda) serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
harus lebih banyak terlibat.
Ketersediaan lahan di Jakarta yang semakin
sempit dan terbatas lantaran peralihan fungsi lahan menjadi tempat kegiatan
ekonomi ketimbang sebagai RTH yang notabene sangat dibutuhkan warga Jakarta.
“Seharusnya Kita bisa mencontoh Singapura dalam membuat kotanya
menjadi hijau dan enak dipandang.”
Saat ini Singapura menjadi salah satu ibukota negara teratas
dunia dalam mengembangkan ruang terbuka hijau. Luas ruang terbuka hijau saat
ini mencapai lebih dari 50 persen dari luas wilayahnya. Negara di lepas
ujung selatan Semenanjung Malaya itu memiliki lebih dari 450 taman dan kebun
publik. “Optimalisasi ruang terbuka hijau perkotaan yang cukup berarti
akan menyumbang cukup besar bagi upaya menekan dampak perubahan iklim
dunia.”
Sedangkan kebijakan terkait kawasan Ruang
Terbuka Hijau (RTH) di kota-kota besar di tanah air masih minim. Kebanyakan
pembentukan kota-kota yang ada di Indonesia ini direncanakan tanpa
memperhatikan aspek-aspek lingkungan.
Semestinya proporsi RTH pada wilayah
perkotaan adalah sebesar minimal 30 persen yang terdiri dari 20 persen ruang
terbuka hijau publik dan 10 persen terdiri dari ruang terbuka hijau privat.
“Proporsi 30 persen merupakan ukuran
minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota, termasuk sistem hidrologi
dan mikroklimatnya.”
Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum, Keberadaan ruang
terbuka hijau (RTH) diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang ,
dalam klausul UU itu disebutkan, jumlah RTH di setiap kota harus sebesar 30
persen dari luas kota tersebut. RTH di setiap kota memiliki tiga fungsi utama,
yaitu fungsi ekologis, sosial ekonomi dan evakuasi.
Fungsi ekologis RTH di antaranya dapat
meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara dan
pengatur iklim mikro. Selain itu juga memiliki fungsi sosial-ekonomi. Di
antaranya untuk memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana
rekreasi dan keasrian kota.
Belum Satu Kotapun Yang Menerapkannya
Agus Purnomo, Kepala Sekretariat DNPI
Tim pakar dari Dewan Nasional Perubahan
Iklim (DNPI) mengakui belum satu kotapun di Indonesia yang mampu menerapkan
30 persen ketesediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH).
DNPI berkerjasama dengan pihak
kementerian terkait, organisasi pakar dan universitas terkemuka di tanah
air, terus mendorong upaya pemenuhan RTH di kota-kota di Indonesia.
DNPI atas perintah Presiden selalu
mengingatkan aparat di daerah agar konsisten dan lebih proaktif dalam
mewujudkan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Wajib hukumnya, bagi para
Walikota, Gubernur, mungkin juga Bupati untuk mengutamakan dan memperbanyak
RTH.”
Transparansi dan besaran anggaran
kebijakan lingkungan yang terkait pengembangan perkotaan juga dinilai belum
maksimal dilakukan pemerintah. Masyarakat kota, sektor usaha dan
bisnis sering memberikan kontribusi cukup besar dari pemasukan dari pajak
dan restribusi lainnya bagi pendapatan (PAD) pemerintah kota. “Tapi berapa
persen yang diperuntukan untuk perbaikan kualitas lingkungan, nggak pernah
dipaparkan.”
KOTA BLITAR
Pemerintah Kabupaten Blitar melalui Badan Lingkungan Hidup (BLH)
Kabupaten Blitar akan mempersiapkan lahan terbuka hijau di wilayah pusat ibu
kota Kabupaten Blitar di Kecamatan Kanigoro. Langkah itu dilakukan untuk
memulai pembangunan ruang terbuka hijau di Kecamatan Kanigoro dengan luas lahan
2,5 hektare.
Seperti diungkapkan Kepala Badan
Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Blitar, Khrisna Triatmanto. Menurutnya,
pihaknya segera membangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di wilayah Kecamatan
Kanigoro, dimana wilayah ini sudah ditetapkan oleh Bupati Blitar sebagai lahan
terbuka hijau.
“Segera akan kami bangun RTH di Kecamatan
Kanigoro, dimana Kecamatan Kanigoro telah ditetapkan sebagai salah satu daerah
paru-paru Kota di Kabupaten Blitar,” kata Khrisna.
RTH itu nantinya juga berfungsi sebagai
sarana rekreasi, tempat pertemuan dan media olahraga. Bahkan saat ini BLH
Kabupaten Blitar telah merintis pembangunan RTH dengan menanam tanaman peneduh
dan juga tanaman pagar dilokasi yang telah ditetapkan di Kecamatan Kanigoro
dengan luas area mencapai 2,5 hektar.
Ada delapan persyaratan untuk mewujudkan kota hiau yang tentunya harus dipenuhi oleh Kota Blitar, yaitu :
1. Perencanaan dan perancangan kota yang ramah lingkungan ( Green
Planning and Design). Untuk persyaratan pertama ini paling tidak Kota Blitar
telah mempunyai Peraturan tentang tata ruang yang dituangkan dalam Perda Nomor
12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Blitar yang
merupakan pedoman bagi arah pengembangan Kota Blitar secara spasial.
2. Ketersediaan ruang terbuka hijau (
Green Open Space). Ruang Terbuka Hijau merupakan factor penting terciptanya
Kota Hijau. UU No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang mengamantkan besaran RTH
Kota adalah 30 %, yang terdiri dari 20 % RTH publik dan 10 % RTH private.
Besaran tersebut masih sangat potensial dicapai Kota Blitar.
3. Konsumsi energi yang efisien (Green
Energy). Program penghematan energy masih perlu terus digalakkan di Kota
Blitar, termasuk penggunaan energy alternatif seperti biogas yang cukup
potensial dikembangkan di Kota Blitar terutama dari peternakan sapi yang
jumlahnya relatif besar terutama di daerah pinggiran kota.
4. Pengelolaan air yang efektif
(Green Water). Pengelolaan air juga masih menjadi pekerjaan rumah bagi
Pemerintah Kota Blitar diantaranya adalah untuk optimalisasi PDAM. Selain
itu potensi air permukaan seperti sungai dan mata air juga belum dimanfaatkan
secara optimal. Kota Blitar mempunyai potensi yang cukup besar terkait
penyediaan air dengan setidaknya ada 26 mata air di Kota ini Strategi green
water juga dapat dilakukan dengan konsep kawasan pensirkulasian air (water
circulating complex) yang salah satunya adalah daur ulan air hujan menjadi air
baku. Dalam konsep ini tentunya diperlukan kawasan tadah hujan.
5. Pengelolaan limbah dengan prinsip
3R (Reduce, Reuse dan Recycle). Untuk syarat ini Pemerintah Kota Blitar melalui
Dinas Kebersihan dan Pertamanan cukup aktif dalam pengembangannya . Dari Tahun
ke tahun jumlah Tempat Pengelolaan sampah secara 3 R mengalami
peningkatan.Pengadaan komposter baik individual dan komunal masih sangat
potensial untuk dikembangkan.
6. Bangunan hemat energi atau bangunan
hijau (Green Building), Pemenuhan persyaratan yang keenam ini dapat dilakukan
dengan adanya pemberian rekomendasi pada saat pemberian Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB) dimana Dinas Pekerjaan Umum Daerah menjadi garda terdepan
pemenuhannya.
7. Penerapan sistem transportasi yang
berkelanjutan. Kondisi transportasi di kota Blitar relatif masih baik
dibuktikan dengan kecilnya tingkat kemacetan. Namun dengan semakin meningkatnya
jumlah kendaraan tentunya diperlukan perencanaan untuk meminimalisir emisi dari
kendaraan tersebut, Car free day mungkin masih menjadi konsep yang
potensial untuk diterapkan di Kota Blitar, Walaupun sekilas hanya bersifat
seremonial tetapi dengan penjadwalan yang rutin tentunya bisa menjadi sarana
promosi lingkungan yang efektif.
8. Peningkatan peran masyarakat sebagai
komunitas hijau. Peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan di Kota
Blitar masih sangat potensial untuk digali lebih jauh, karena pola pembangunan
di Kota Blitar adalah sistem pembangunan patisipatif.
Mari kita segerakan pembangunan Ruang Tata Hijau pada kota-kota lain
di Indonesia, agar ikut serta sebagai paru-paru dunia, yang berfungsi sebagai
pengatur iklim mikro, sumber oksigen, resapan air dan penyerap polutan, dsb.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar